Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat
Kelompok 12
NAMA : 1. ISMI AYU AZIJAH ( 23217001 )
NAMA : 1. ISMI AYU AZIJAH ( 23217001 )
2. ULFAH RAHMAHTUNISA ( 26217891 )
KELAS : 2EB05
ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT
(Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong : 2008)
I. Pengertian
Sebelum dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999, sebenarnya pengaturan mengenai persaingan usaha tidak sehat didasarkan pada pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan melawan hukum dan Pasal 382 bis KUH Pidana : “Barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seseorang tertentu, diancam karena persaingan curang dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu rupiah lima rtus ribu rupiah, bila perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkruen-konkruen orang lain itu”.
Berdasarkan Pasal 383 bis KUH Pidana seseorang dapat dikenakan sanksi pidana atau tindakan “persaingan curang” dengan kriteria :
- Adanya tindakan tertentu yang dikategorikan sebagai persaingan curang.
- Perbuatan persaingan curang itu dilakukan dalam rangka mendapatkan, melangsung, dan memperluas hasil dagangan, atau perusahaan.
- Perusahaan yang diuntungkan karena persaingan curang tersebut baik perusahaan si pelaku maupun perusahaan lain.
- Perbuatan pidana persaingan curang dilakukan dengan cara menyesatkan khalayak umum atau orang tertentu.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu kelompok pelaku usaha.
Pada hal, Pasal 4 ayat 2 secara tegas pelaku usaha patut atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa jika dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Maka persaingan tidak sehat berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999, “ persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau/pemasaran barang dan/ atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha,”.
II. Asas dan Tujuan
Tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah
- Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejateraan rakyat.
- Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
- Mencegah praktik monopoli dan.atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha
- Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
III. Kegiatan yang Dilarang
1. Monopoli
1. Monopoli
Monopoli adalah situasi pengadaan barang dagang tertentu (dipasar lokal atau nasional) sekurang-kurangnya sepertiga dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok sehingga harganya dapat dikendalikan. .
Kriteria monopoli menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 :
Kriteria monopoli menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 :
a. Pelaku usaha dilarang melakuakan penguaaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau jasa yanag dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan.atau persaingan usaha tidak sehat .
b. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakuakan pengiasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/ atau jasa sebagaimana ayat (1) :
1) Barang dan/ atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya
2) Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk dalam persaingan dan/atau jasa yang sama.
3) Satu pelaku uasaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar atau jenis barang atau jasa tertentu.
2. Monoposoni
Monopsoni adalah keadaan pasar yang tidak seimbang, yang dkuasai oleh seorang pembeli; oligopsoni yang terbatas pada seorang pembeli
Monopsoni menurut Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah :
3. Penguasaan pasar
Monopsoni menurut Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah :
a. Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
b. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakuakan pengiasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/ atau jasa sebagaimana ayat (1) :apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Penguasaan pasar adalah proses, cara, atau perbuatan menguasai pasar. Dengan demikian, pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, antara lain
3. Penguasaan pasar - Menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan
- Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha persaingan untuk tidak melakukan hubungan dengan pelaku usaha persaingannya itu atau jasa pasar bersangkutan;
- Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Penguasaan pasar adalah proses, cara, atau perbuatan menguasai pasar. Dengan demikian, pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, antara lain
- Menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan
- Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha persaingan untuk tidak melakukan hubungan dengan pelaku usaha persaingannya itu atau jasa pasar bersangkutan;
- Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu
4. Persekongkolan
Persekongkolan adalah
berkomplot atau bersepakat melakukan kejahatan (kecurangan). Sementara itu, ada
beberapa bentuk pesengkongkolan yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun
1999 dalam pasal 22 sampai dengan pasal 24 adalah sebagai berikut
a. Dilarang
melakukan persengkongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau menentukan
pemenang tender sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
b. Dilarang
bersengkongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha
persaingannya yang diklasifikasikan rahasia perusahaan.
c. Dilarang
bersengkongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran
barang dan/atau jasa pelaku usaha persainganya dengan maksud agar barang
dan/jasa yang ditawarkan atau dipasok menjadi berkurang, baik dari jumlah,
kualitas, maupun kecepatan waktu yang dipersyaratkan.
5. Posisi
Dominan
Posisi dominan artinya
pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang nomor 5 tahun 1999
menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaaan dimana pelaku usaha tidak
mempunyai persaingan yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan
pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara
pesaingannya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan,
kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan
pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
Pasal 25
menyatakan pelaku usaha dikategorikan menggunakan posisi dominan apabila
memenuhi kriteria :
a. Menetapkan
syarat – syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen
memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun
kualitas.
b. Membatasi
pasat dan pengembangan teknologi atau menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi
menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.
Secara kuantitatif ditentukan berapa persentase
penguasaan pasar oleh pelaku usaha sehingga dapat dikatakan menggunakan posisi
dominan sebagaimana ketentuan diatas, seperti berikut :
a. Satu
pelaku atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50 % atau lebih pangsa pasar
ntuk satu jenis barang atau jasa tertentu.
b. Dua
atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 75 % atau
lebih pangsa pasar untuk satu jenis barang atau jasa.
6. Jabatan
Rangkap
Mengenai jabatan rangkap, dalam Pasal 26 Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1999 dikatakan bahwa seseorang yang menduduki jabatan sebagai
direksi atau komisaris dari suatu perusahaan pada waktu yang bersamaan dilarang
merangkap menjadi direksi aau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan itu :
a. Berada
dalam pasar bersangkutan yang sama ;
b. Memiliki
keterkaitan yang erat dalam bidang dan/atau jenis usaha;
c. Secara
bersama dapat meguasai pangsa pasar barang dan/atau jasa tertentu yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat.
7. Pemilikan
Saham
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan
bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan
sejenis dan melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada pasar bersangkutan
yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama apabila kepemilikian
tersebut mengakibatkan, antara lain:
a. Satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa
satu jenis barang dan/atau jasa tertentu;
b. Dua
tau tiga pelaku usaha, kelompok usaha, dan kelompok pelaku usaha menguasai
lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
8.
Penggabungan, Peleburan dan
Pengambilalihan
Pasal 28 Undang –
Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha berbadan hukum yang
menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus-menerus dengan tujuan mencari
keuntungan. Dalam menjalankan perusahaan tindakan penggabungan, peleburan,
pengambilalihan yang akan mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan tidak
sehat yang secara tegas dilarang.
Dengan demikian, penggabungan dapat dilakukan hanya
yang bersifat vertikal sesuai dengan pasal 14 Undang-Undang nomor 5 tahun 1999.
I.
Perjanjian
yang Dilarang
1. Oligopoli
Oligopoli adalah
keadaan pasar dengan produsen dan
pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari
mereka dapat mempengaruhi harga pasar. Dengan demikian, keadaan pasar yang
tidak seimbang karena dipengaruhi oleh sejumlah pembeli, dengan demikian maka
a. Perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan/atau
pemasaran barang dan atau jasa;
b. Pelaku
usaha patut diduga atau diangggap secara bersama-sama dan/atau melakukan
penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang atau jasa, apabila 2 atau 3
pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih 75% pangsa pasar satu
jenis barang atau jasa tertentu.
2. Penetapan
harga
Dalam rangka
penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian;
a.
Perjanjian dengan pelaku usaha
persaingannya untuk menetapkan harga atas barang dan/atau jasa yang harus
dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang sama;
b.
Perjanjian yang mengakibatkan pembeli
harus membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli
lain untuk brang dan/atau jasa yang sama;
c.
Perjanjian dengan pelaku usaha
persaingannya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar;
d.
Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa yang diterimanya dengan
harga lebih dari pada harga yang telah diperjanjikan.
3. Pembagian
wilayah
Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk
membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa.
4. Pemboikotan
Pelaku usaha
dilarang untuk memuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dapat
menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk
tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
Pelaku usaha dilarang untuk membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang
dan/atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut berakibat
a. Merugikan
atau dapat diduga akan merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha
lain;
b. Membatasi
pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan/atau jasa pasar
bersangkutan.
5. Kartel
Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya bermaksud untuk
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu brang
dan/atau jasa.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan
membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap
menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan
anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran atas
barang dan/atau jasa.
7. Oligopsoni
a. Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan
harga atas barang dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan.
b. Pelaku
usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau
penerimaan pasokan, aabila dua atau tiga pelaku usaa atau kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
8. Integrasi
vertikal
Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
menguasai produksi sejumlah produk yang termaksuk dalam rangkaian produksi
barang dan/atau jasa tertentu yang sama setiap rangkaian produksi merupakan
hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung
maupun tidak langsung.
9. Perjanjian
Tertutup
Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan
bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak
mamasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau
pada tepat tertentu.
Pelaku usaha yang
dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa
pihak yang menerima barang dan/atau jasa dari pelaku.
Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau
jasa dari pelaku usaha pemasok, anatar lain :
a. Harus
bersedia membeli barang dan/atau jasa dari pelaku usaha pemasok;
b. Tidak
akan membeli barang dan/atau jasa yang sama sejenis dari peraku usaha lain yang
menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
10. Perjanjian
dengan Pihak Luar Negeri
Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan dan
dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat.
II.
Hal-Hal
yang Dikecualikan dari Undang-Undang Anti Monopoli
Hal-hal
yang dikecualikan dari undang-undang anti monopoli antara lain
perjanjian-perjanjian yang dikecualikan; perbuatan yang dikecualikan;
perjanjian dan perbuatan yang dikecualikan.
1. Perjanjian
yang Dikecualikan
a. Perjanjian
yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, termasuk lisensi, paten,
merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu,
dan rahasia dagang.
b. Perjanjian
yang berkaitan dengan waralaba.
c. Perjanjian
penetapan standar teknis produk barang dan/atau jasa yang tidak mengekang
dan/atau menghalangi persaingan.
d. Perjanjian
dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali
barang dan/atau jasa dengan harga yang lebih rendah dari harga yang telah
diperjanjikan.
e. Perjanjian
kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat
luas.
f. Perjanjian
internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah.
2. Perbuatan
yang Dikecualikan
a. Perbuatan
pelaku usaha yang tergolong dalam pelaku usaha.
b. Kegiatan
usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggota.
3. Perbuatan
dan/atau Perjanjian yang Dikecualikan
a. Perbuatan
dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
b. Perbuatan
dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk ekspor dan tidak mengganggu kebutuhan
atau pasokan dalam negeri.
III.
Komisi
Pengawas Persaingan Usaha
Komisi
pengawas persaingan usaha adalah sebuah lembaga yang berfungsi untuk mengawasi
pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya melakukan praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Hal
ini diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dibentuklah suatu
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang bertugas untuk mengawasi pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya melakukan praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha yang tidak sehat. Adapun tugas dan wewenang KPPU, antara lain
:
1. Melakukan
penilaian terhadap perjanjian yang telah dibuat oleh pelaku usaha;
2. Melakukan
penilaian terhadap kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan usahanya;
3. Mengambil
tindakan sesuai dengan wewenang komisi;
4. Memberikan
saran dan pertimbangan kebijakan pemerintah terhadap praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat;
5. Menerima
laporan dari masyarakat dan/atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;
6. Melakukan
penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha
yang dapat mengakibatkan terjadi praktik monopoli dan persaingan tidak sehat;
7. Melakukan
penyelidikan dan pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau pelaku yang
ditemukan oleh komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
8. Memanggil
dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan setiap orang yang dianggap mengetahui
pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang;
9. Meminta
bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau
setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan komisi;
10. Menjatuhkan
sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini.
IV.
Sanksi
Ketentuan
pemberian sanksi terhadap pelanggaran bagi pelaku usaha yang melanggar
undang-undang ini dapat dikelompokkan dalam dua kategori, antara lain sanksi
administrasi dan sanksi pidana pokok dan tambahan.
1. Sanksi
Administrasi
Sanksi administrasi adalah dapat
berupa penetapan pembatasan perjanjian, pemberhentian integrasi vertikal,
perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan posisi dominan, penetapan
pembatalan atas penggabungan, peleburan dan pengambilalihan badan usaha,
penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan denda serendah-rendahnya satu miliar
rupiah atau setinggi-tingginya dua puluh lima miliar rupiah.
2. Sanksi
Pidana Pokok dan Tambahan
Sanksi pidana pokok dan tambahan
adalah dimungkinkan apabila pelaku usaha melanggar integrasi vertikal,
perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan monopoli, melakukan monopsoni,
penguasaan pasar, posisi monopoli, pemilikan saham, penggabungan, peleburan,
dan pengambilalihan dikenakan denda minimal dua puluh lima miliar rupiah dan
setinggi-tingginya seratus miliar rupiah, sedangkan untuk pelanggaran mengenai
penetapan harga, perjanjian tertutup, penguasaan pasar dan persekongkolan,
jabatan rangkap dikenakan denda minimal lima miliar rupiah dan maksimal dua
puluh lima miliar rupiah.
Sementara
itu, bagi pelaku usaha yang dianggap melakukan pelanggaran berat dapat
dikenakan pidana tambahan sesuai dengan Pasal 10 KUH Pidana berupa
a. Pencabutan
izin usaha;
b. Larangan
kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun;
c. Penghentian
kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak
lain.
REFERENSI :
Sari, Elsi Kartika dan Advendi Simanunsong. 2008. Hukum
dalam Ekonomi. Edisi 2 Cetakan kelima. Jakarta : PT. Grasindo.
Komentar
Posting Komentar